Minggu, 02 September 2012

Inilah Usulan Agar Kasus Wiji Tak Berefek Buruk pada Densus 88

Wajah Wiji

Jakarta Densus 88 antiteror mungkin punya alasan tersendiri ketika menghajar Wiji Siswo Suwito (65) yang belakangan diketahui sebagai tindakan salah sasaran. Namun masyarakat mungkin bisa punya pandangan berbeda atas penderitaan ayah mertua dari terduga teroris Bayu Setiono.

Pengamat dari Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya, mengemukakan 10 poin agar Densus 88 tidak menjadi kontraproduktif dengan upaya pemberantasan terorisme. Inilah catatan yang diberikan Mstofa dalam rilis yang diterima detikcom, Minggu (2/9/2012).

1. Densus 88 tak perlu lakukan aksi kekerasan berlebihan pada masyarakat, karena hanya akan membuat trauma baru, sakit hati baru, dan dendam kesumat dari keluarga korban yang semestinya tidak terjadi. Dendam kesumat itulah yang sangat berpotensi menelorkan pelaku-pelaku baru terorisme.

2. Jadi, munculnya pelaku-pelaku baru terorisme, kadang sama sekali tidak disebabkan oleh ide besar teroris untuk mendirikan Negara Islam, ataupun niat besar mengubah Pancasila dengan ideologi lain. Tetapi hanya disebabkan oleh perilaku aparat yang sewenang-wenang tanpa tanggungjawab.

3. Kita patut berbangga dengan prestasi Densus 88 yang tegas dan keras serta tidak kompromi terhadap teroris. Namun apabila salah sasaran, ini yang berbahaya. Jika semula tidak ada rasa benci pada aparat, gara-gara salah sasaran, maka rasa benci akan terasa sampai ubun-ubun dari korban kekerasan aparat, termasuk Densus 88.

4. Nah, sebaiknya Densus meminta maaf kepada korban dan mengobatinya sampai sembuh, serta melakukan pendampingan psikologi terhadap korban kekerasan korps berlambang burung hantu itu, hingga tidak lagi trauma.

5. Jika tidak, maka rasa benci tidak hanya dirasakan oleh korban, bahkan akan dirasakan pula oleh anak cucunya. Ini yang akan terjadi pada korban semacam Wiji Siswo. Maka dari itu, meski yang mendapatkan perilaku keji hanya Wiji Siswo, namun rasa dendam akan disimpan oleh anak cucunya.

6. Apabila hal itu dibiarkan, jangan salahkan apabila suatu saat, anak cucu korban itu kemudian bisa diprovokasi oleh pihak tak bertanggungjawab untuk membalas dendam pada aparat yang mudah dijumpai di tempat umum, termasuk polisi yang paling mudah.

7. Solo bukanlah zona perang. Tetapi Densus menggunakan pola perang, sehingga menimbulkan kesan tidak aman di negeri ini. Menciptakan rasa takut dan rasa khawatir yang cukup mengerikan akibat penggambaran aksi Densus yang berlebihan bagaikan di zona perang di Afganistan, Palestina, atau negara Timur Tengah lain yang sedang dilanda konflik.

8. Yang janggal, meski bukan di zona perang, ternyata tak sekalipun Densus menggunakan cara humanis untuk melumpuhkan teroris, meski hal itu mudah dilakukan dan sangat efektif. Katakanlah dengan menggunakan bom asap, gas air mata, dan lain-lain. Densus justru lakukan aksi kekerasan terstruktur dan ada kesan tidak mengenal HAM. Hajar dulu, urusan belakangan.

9. Untuk itu, penting bagi Densus dan BNPT agar lakukan rehabilitasi bagi korban kekerasan oleh dirinya. Tidak hanya ganti rugi, tapi juga permintaan maaf yang serius. Jika perlu, permintaan maaf dan rehabilitasi disampaikan/dilakukan di depan publik, melalui jumpa pers, agar masyarakat luas menghormati polisi, Densus, maupun BNPT. Itulah yang selama ini tidak mereka lakukan.

10. Jika tidak dilakukan, jangan harap masyarakat menghormati korp berlambang burung hantu maupun korp baju coklat tersebut. Aksi-aksi heroik memberantas teroris, akhirnya hanya akan dianggap sebagai adegan pencitraan aparat, dan tidak lagi memiliki nilai positif di mata masyarakat.

(gah/try)

Tutup
 Share to Facebook:

You are redirected to Facebook

loadingSending your message

Message has successfully sent

Foto Video Terkait

  • Satpam Dilatih Tangani Teroris.
  • Simulasi Penanganan Teroris di Laut Cilacap.
  • Densus Tembak 2 Terduga Teroris.
  • Polri Jelaskan Penembakan Terduga Teroris di Bali.
  • Jenazah Terduga Teroris Dibawa ke RS Bhayangkara.
Free Phone Sex