Selasa, 31/07/2012 10:38 WIB
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda Connect with Facebook
Foto: Andi Saputra (detikcom)
"Di sini listrik langsung nyambung dari pabrik, 24 jam," kata seorang guru, Nur Eka Febriyanti kepada detikcom, di perkebunan sawit Sapi 2, Sabah, Malaysia, Selasa (31/7/2012).
Ketika pintu terbuka, sebuah meja makan berada di tengah ruangan. Terdapat sebuah kulkas yang berisi es lilin dan es batu. "Ini kulkas titipan orang tua siswa," kisah lajang asal Mojokerto ini.
Setiap harinya dia bangun pagi dan mengajar hingga selepas siang. Setelah itu dia mengisi hari-hari dengan kesibukan untuk menghilangkan kejenuhan. "Kalau hari Sabtu dan Minggu malah seharian penuh, sampai Maghrib. Sebab hari itu banyak anak-anak TKI yang sehari-hari bekerja di ladang baru bisa sekolah," kisah alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unnesa) ini.
Kejenuhan merupakan tantangan utama. Berada di tengah hutan, membuat mereka harus pandai-pandai menyiasatinya. Sinyal internet yang mudah hilang kadang diakali dengan menggantung modem internet di pucuk pohon. Begitu juga dengan sinyal telepon, mereka harus mencari titik sempurna supaya bisa telepon atau kirim sms.
"Kalau sudah jenuh, satu-satunya cara ya jalan-jalan ke Bandar, ada supermarket di sana. Sekitar satu jam dari sini," kisahnya.
Nasib Prasetyo lebih beruntung dibanding Eka. Sebagai koordinator guru, dia mendapatkan fasilitas rumah panggung tetapi itu pun masih tetap sederhana. Cat papan sudah pendar, sarang laba-laba di sana-sini, debu bertebaran dan nyamuk di malam hari yang tidak bersahabat. Adapun ruangan dalam di cat warna cerah dengan lantai kayu.
"Nasib kami lebih beruntung. Ada sesama guru yang rumahnya bekas tempat penggilingan beras. Menuju ke lokasi itu butuh waktu berjam-jam dengan jalan yang hancur. Jika hujan jalanan menjadi lautan lumpur, tak bisa dilalui," kisah Pras.
Perkampungan ini berada jauh dari jalan raya. Untuk keluar dari hutan sawit mereka menumpang truk sawit hingga ke jalan raya.
"Para pekerja di sini baik-baik dan ramah kepada kami. Kadang mereka tidak mau dibayar kalau kami beli makanan ke mereka. Kalau harus masak sendiri kan malah jatuhnya lebih mahal tapi kalau dibayar mereka menolak," cerita lajang yang tidak tamat menyelesaikan kuliah di Fakultas Teknik UGM ini.
(asp/mad)
Komentar (0 Komentar)
![](http://pixel.quantserve.com/pixel/p-89EKCgBk8MZdE.gif)